Friday, September 21, 2007

Cerita BUta

___Pelacur

Di pojok pasar mobil kota Kairo, tempat Hery biasa nongkrong sekedar menghilangkan kejenuhan dan rasa penat. Sore itu ketika pasar masih ramai dengan pedagang menjajakan mobilnya, tiba-tiba seorang perempuan datang menghampiri Hery. Perempuan itu mengambil tempat di sebelah kirinya, duduk di atas jok pembatas pinggir pasar seperti dirinya. Hery baru saja terkesima oleh sebagian kehidupan nyata para pedagang mobil, yang tanpa sengaja ditemukannya sore itu. Sebuah keberanian dan ketabahan menunggu para pembeli di terik siang yang panas. Sebuah kerja keras yang nyaris tak tercatat.

Dan sekarang dengan kehadiran perempuan itu menambah keterkesimaannya pada suasana pasar sore itu. Malah segera menimbulkan bermacam dugaan di benaknya. Sejak mula ia telah melihat perempuan itu di antara gerombolan pedagang yang sedang menjajakan dagangan. Tapi, pakaian dan penampilan perempuan itu agak berbeda dari para perempuan biasanya. Hingga sesaat Hery sempat berpikir, boleh jadi perempuan itu adalah turis lokal seperti dia. Namun ketika perempuan itu sudah duduk di sampingnya, lalu mencium bau debu yang menyebar dari tubuhnya, selanjutnya Hery bisa memastikan, bahwa perempuan itu adalah seorang penduduk kota Sahara ini.

"Dari mana?" begitulah Hery kemudian berani bertanya, sekadar menghalau kebisuan di antara tiupan angin dingin sore yang mulai gelap. Perempuan itu menjawab sekenanya namun kurang jelas bagi pendengaran Hery. Sudah menjadi kebiasaannya selama tinggal di Negeri Fir’aun ini, kalau berbicara dengan penduduk asli pendengarannya kurang cekatan seperti halnya penyakit tak bisa tidur, makan ala kadarnya, melamun dalam kesendirian, aahh!! Entahlah. Hery tak mempersoalkan lebih jauh. Ia mencoba menenangkan pikirannya dengan menawarkan rokok ketika perempuan itu menoleh ke arahnya.

Dalam samar tamaran cahaya lampu malam mereka saling mengamati, lalu perempuan itu mengambil sebatang rokok, dan Hery pun dengan sigap menyalakan mancis untuknya. Kemudian kembali pada kesibukan masing-masing, diam, tak bergeming. Seolah khusuk dengan rokoknya masing-masing.

Agak menggigil, Hery mencoba menenangkan dirinya dengan memandang ujung pasar. Dalam kesamaran sore berkabut malam itu, pasar benar-benar lenggang kini. Para pedagang yang sesaat tadi masih tampak berupa gerombolan semut, kini benar-benar raib ditelan malam. Dan para petugas keamanan yang sedari tadi sibuk mengatur lancarnya lalulintas, kini menghilang di perkampungan di sebelah kanan sana.

"Mereka hampir tak ada," gumam Hery.

"Apa?" tanya perempuan itu.

"Orang-orang itu hampir tak ada, tak menjadi perhatian orang banyak." kata Hery agak terbata, yang kemudian disesalinya sebagai keterlanjuran. Tiba-tiba saja ia merasa percuma, telah mencetuskan sebagian dari beberapa pikiran jernih yang ditemukannya. Ia pun menjadi gugup ketika menoleh kepada perempuan itu. Ia benar-benar merasa baru saja berbicara pada tempat dan waktu yang salah.

Dan mungkin juga kepada orang yang salah? Dan ia semakin gugup ketika mendengar kata-kata perempuan itu. “Siapa yang tak pernah kesepian, siapa yang tak ingin dihibur dalam malam berkabut dingin!!” Hery seakan baru saja mendengar hembusan angin dingin berdengung nyaring di sisi telinganya. Sekilas ia kembali menoleh dan menangkap senyum sumbang perempuan itu. Berawal dari saling pandang, membagi senyum.

Adalah sebuah tradisi yang sudah kental dan sangat dikenalinya. Ia tahu persis, bahwa ia tak perlu menjaga harga diri bila tidak ingin rugi sedikitpun. Ia kemudian menjamah tangan si perempuan berbau debu itu. Dan perempuan berbau debu itu membalas dengan lebih merapatkan lagi tubuhnya. Lalu, ada beberapa saat mereka selanjutnya seperti tersenyum dan mengisyaratkan sesuatu, isyarat itu hanya mereka berdua memahaminya.

"Tapi kamu harus membayar," kata perempuan itu berbisik sembari menarik tangannya dari pegangan Hery. Ia menyebutkan angka dan kembali duduk. Lalu membenahi kerudung dan pakaiannya. Dalam tamaran cahaya malam, Hery melihat, ada sebuah rasa percaya diri yang sedang mencoba ditegakkan oleh perempuan itu.

"Mahal!!" kata Hery sembari menenangkan napasnya meski ia tahu rasa licik mengorek dari dasar hatinya.

"Biasa di sini," kata perempuan itu.

"Ya, tapi terlalu mahal," Hery mengelak.

"Ah!!" keluh perempuan itu.

Hery melihat bagaimana perempuan itu menatap tak percaya atas penemuannya, dan serentak rasa percaya diri yang sedang coba ditegakkan, kini melemah dan hampir pupus dari wajahnya. Ia duduk dengan canggung.

Dan Hery pun kemudian merasa tak perlu terlalu jauh menikmati kelicikannya. "Di mana tempat kamu?" tanyanya.

"Di mana tempat kamu?" ulangnya seraya bangkit, sesaat perempuan itu nyaris tak memberi reaksi apa-apa. Namun tiba-tiba perempuan itu menyunggingkan senyum, sebuah senyum mesum. Dan kini, ia tidak lagi canggung ketika ikut bangkit. Bahkan ia melirikkan sepasang mata genitnya, dan menuntun tangan Hery agar ikut bersamanya. Kemudian, mereka berjalan di atas trotoar berwarna hitam kecoklatan manjauhi tepi pasar yang kini mulai gelap.

Mereka menuju perkampungan belakang pasar mobil. Disebuah rumah apartemen belum selesai direnofasi berlangit-langit rendah, perempuan itu menyalakan lilin. Dan menjadi jelaslah, bahwa rumah itu tak begitu bersih. Berlantai tanah. Sempit. Panas. Dengan dinding yang mulai lapuk di sana-sini. Di sebuah sudut kamar tergolek sisa-sisa kayu penyanggah dinding yang tak terpakai lagi, dengan beberapa batu bata besar yang terbuat pasir dan semen.

Merapat ke dinding, sebuah dipan dengan kasur telanjang, sedang dihampiri oleh perempuan itu. Sebuah seprei berwarna kusam digelarkan dan dibenahi dengan tergesa-gesa.

"Kalau dengan lelaki yang saya senangi seperti suami saya, saya akan melayani sungguh-sungguh," kata perempuan itu nyaris bergumam, namun terburu-buru, dan mulai tersenyum, tertawa kecil, serta dibumbui lirikan genit.

Sementara memandangi kesibukan perempuan itu, Hery yang sudah terbiasa dengan kesendiriannya, setiap kali merasa terpukul oleh bayangan tubuhnya yang membesar di dinding akibat sorotan cahaya lilin.

Dan kemudian ia merasa tak harus menjadi seorang lelaki suci, ketika akhirnya mengambil sebuah keputusan sederhana, keluar begitu saja, lari seribu langkah tanpa harus pamit kepada perempuan itu. Namun HATI dan alam pikirnya terus bergeming.

Siapa yang tak ingin dihibur malam berkabut dingin seperti ini, TUHAN!! ”

___ 22.15/27-207-08 "Kairo

1 comment:

-Filantropy- said...

Saya menangkap ada makna filosofis di sini. Entah kenapa, ketika saya menelisik keputusan Hery, yang tak harus menjadi seorang lelaki suci.
Saya jadi teringat sosok seorang pujangga, Pram; Kebenaran itu tidak datang dari langit. [ini yang pertama]

Saya menemukan ada titik hitam di sini. Entah kenapa, ketika saya menyimak ucapan Hery, "Orang-orang itu hampir tak ada, tak menjadi perhatian orang banyak." kata Hery agak terbata, dst...
Saya jadi teringat sosok seorang jurnalis, Goenawan Muhamad; Menulislah dengan baik. Jangan sampai salah ketik. [itu yang kedua]

Selanjutnya, itu saja! :D

Salam kreatifitas...