Saturday, November 10, 2007

Pejuang BUjang

___ Nasib Pejuang Yang Terbuang

Tak ada lagi kejayaan yang tersisa dari wajah Marcopolo. Tubuhnya yang kecil mulai membungkuk dengan badan condong ke kiri. Gurat-gurat ketuaan terlihat jelas dari kulitnya yang keriput. Rambutnya yang sudah putih terlihat jelas dari kulitnya yang menghitam. Rambutnya yang sudah putih dipotong cepak. Ia berusaha tampil gagah dalam balutan seragam kebanggaanya yang tampak lusuh dan mulai pudar. Di pundak terpasang pangkat terakhirnya; Letnan muda. Sederet tanda jasanya tersemat di dada kanan. Pria yang kini berusia 80 tahun itu adalah seorang pejuang Angkatan 45. Ia memulai karier militernya sejak di usia muda tepatnya pada umur 15 tahun dengan bergabung bersama Laskar Rakyat di kampung halamannya. Kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat, dan Tentara Bangsa sebelum akhirnya tercatat sebagai angota Meliter Negara. Marcopolo masih mengenang masa-masa sulit di saat perjuangan. Teringat jelas di benaknya saat perjalanan dari kampung halaman menuju kota untuk bertemu dengan pimpinan tetinggi bangsa, perjalanan itu berlangsung selama satu bulan lima hari lamanya. Ia dan segenap pasukan lainnya menyusuri jalan dengan ketabahan dan terkadang harus berhadapan dengan tentara penjajah yang dengan tidak sengaja bertemu dengan rombongan pasukannya ditengah perjalanan. Mereka hidup alakadarnya dan dibantu oleh rakyat di tempat-tempat yang dilewati. Singkong menjadi makanan yang sangat mewah saat itu. Namun Marcopolo merasa deritanya terobati ketika ia dan rekan seperjuangannya diterima Pimpinan Tertinggi Pejuang Bangsa di kota tempat tinggalnya. “Sang Pimpinan memerintahkan agar semua pasukan kembali ke kampung halaman untuk mempertahankan wilayahnya masing-masing” kenangnya.
Instruksi dari sang Pemimpin menjadi momen yang tak pernah terlupakan, karena kepatuhannya pada pimpinan itu harus ditebusnya dengan ongkos yang sangat mahal. Markopolo terkena pecahan granat dalam sebuah kontak senjata, dengan meninggalkan cacat permanent di kaki dan tangan kirinya. Mengutip sertifikat dokter dari Jawatan Kesehatan Markas Besar, kondisinya bisa disamakan dengan kehilangan satu anggota badan. Marcopolo kemudian dikaryakan menjadi Legiun Veteran Bangsa.

Mengenang jasa para pejuang___ 10 November

Wednesday, October 31, 2007

BUlir** Kata

___ Kenangan Sang Veteran

Letupan senjata itu belum juga berhenti mengiang ditelingamu dengan peluru-pelurunya yang berhamburan entah kemana tertuju
Terasa tenang
Terasa hambar
Terasa dingin
Terasa terbiasa lantaran bulir-bulir darah perjuangan tetap mengalir di seluruh sudut mukamu

Suara-suara itu semakin lama makin membahana
Berirama di telingamu
Mengikuti detak-detak jantungmu, terasa semakin bernada
Seakan mengajakmu melangkah untuk berperang
Maju! Serang! Satu! Merdeka!
Kau berputar, kau terbang, kau melayang
Dalam irama ilusi, kau semakin asyik berjuang
Menembus gumpalan asap rudal-rudal penjajah

Kau terus berputar, berputar dan akan tetap berputar
Sampai suara itu berganti
Sampai suara itu kembali terusir
Dan mereka hilang
Darah, rudal, peluru-peluru itu lenyap bersama asap-asap

Ciplak!ciplak!
Sepasang kaki kecil berlari di depanmu menyadarkanmu
Dan tanpa disengaja air percikannya mengotori separuh baju kebesaranmu loreng abu kecoklat-coklatan
Seperti coklat lumpur perih yang ada dalam dadamu mempertahankan basah darah tanah air

Hening
Kau telusuri hari-hari ini sendirian
Menguak kerumunan tawa di depan mata
Membelah kumpulan bahagia sekelompok anak-anak kecil yang berlarian
di tengah hujan
Seakan mereka tak pernah tau betapa gigihnya para pahlawan dulu berperang
dengan siraman panas rudal dan peluru-peluru liar berhamburan
Penuh semangat maju pantang menyerah
Meski luka di kaki dan tangan bahkan darah mengalir terasa
Tapi mereka tak acuh, tak pedulikan apa-apa

Kau tersenyum sepi
Hanya sesekali suara tawa anak-anak memecah kebisuan
Kadang nyaring, menyentak
Kadang pilu, menggugah sudut hatimu
Mengusik segala diam, Kembalikan kenangan waktu itu
Saat-saat kau masih muda dulu

___ 20.20/30-10-007" IKBAL

Wednesday, October 24, 2007

BUkan Drama

___ Nonton Film Indonesia





___ 25.01/15-10-007" Bioskop

BUih Hayal

___ I am so Lucky

AKU dan dia dilahirkan dalam negri dan tanah air yang sama, bahasa yang sama, pertiwi Indonesia tentunya. Namun yang aku tau, dia besar dan tumbuh dalam kehidupan yang lebih mengenaskan dariku. Suatu ketika dia bercerita kepadaku, dia pernah berjalan mengelilingi negara-negara berkebudayaan yang menurutnya negara itu lebih kejam dari kehidupan di Indonesia, “sebutlah seperti Inggris dan Afrika” katanya menirukan gaya pribumi angkuh berucap dengan senyuman khas yang dia miliki.

Namun secara wajar aku sedikit bangga dan iri dengannya. Dari kisah cerita yang aku dapat, pengalaman mengelilingi negara orang membuatnya mahir berbahasa Inggris, Spanyol dan Prancis. Tentusaja, dia juga mengerti Swedish dan Danish karena bahasa mereka serumpun. Maka wajar bagiku bersikap cemburu padanya, karena dalam usia sangat muda, dia sudah mengerti bahasa Inggris, Prancis dan sedikit Spanyol.

Suatu saat aku pernah berterus terang kepadanya. “Friend, kenapa ya kalau jalan sama kamu tu ngerasa ada yang beda?” Tanyaku sambil memandangnya dalam.
”Kenapa??” Balasnya sederhana.
”Yaa, coz waktu di pesantren dulu aku selalu menghayal bisa keluar negri, naik pesawat ke tempat tempat yang jauh dan bertemu orang-orang yang menarik, bisa banyak bahasa dan mengerti perbedaan kultur manusia?” tuturku menerawang mengingat impian masa dulu.
Dia tersenyum.
”Ya, ada sisi baik dan sisi buruknya sieh!” ucapnya mulai bercerita. “Misalnya, aku jadi kurang merasa punya akar yang kuat, nggak terlalu merasa Indonesia adalah tanah airku, karena aku menghabiskan banyak masa di negara orang.” Sambungnya sambil terbata.
”Mmm.. iya juga ya?” Balasku singkat, kemudian kembali berargumen. “Tapi di Indonesia, banyak juga yang tetap kembali ke akar mereka meski sudah tahunan di luar negri dan bisa aneka ragam bahasa kan?”

Aku kembali melamun, mengingat hayalan waktu dulu. Konsentrasiku hilang meninggalkan dia yang sedang bercucur cerita tentang pengalamannya. Lalu secara tidak sadar aku tersenyum.
”Kenapa?” Tanya dia merasa aneh.
”Nggak, jadi ingat waktu kecil?” Masih dengan mata menerawang dan senyum terkulum, aku bercerita;
”Waktu kecil dulu, waktu lihat TV atau baca di majalah BoBo punya tetangga, aku pengen bisa bernasib baik seperti orang kaya kamu. Tapi dulu, boro boro keluar negri, minum susu pun aku jarang, makan nasi pakai garam dan lauk ala kadarnya. Tapi Ibu Bapakku sadar kalau susu itu penting, mereka sampe sembunyi menggilir bergantian anak-anaknya minum susu agar nggak berebutan, biasa ngirit duit. Aku pengen banget ikut les main musik, les bahasa, tapi orangtuaku cari uang untuk makan aja gitu? Mau gimana lagi. Aku tersenyum, sungguh, membuatku selalu tersenyum setiap mengingat masa-masaku dulu, senyum kemenangan.

“Masak! Gak ah, boong kamu!” jawabnya nggak percaya. “Kamu jangan ngerasa kecil hati dulu.” Lanjutnya. “Di Afrika, orang jarang minum susu tapi sering makan tulang ikan, mereka sehat dengan asupan nutrisi dari alam mereka sendiri, tiap manusia survive dengan cara mereka sendiri.” Lagi-lagi dia nggak sadar membanggakan kehidupan orang.

Aku termenung lagi sebentar, lalu meneruskan percakapan. ”Ya, kadang aku berpikir, betapa sebenarnya aku mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan yang berbeda, mungkin justru lebih puas. Mimpi-mimpi masa dulu yang menjadikanku mulia seperti sekarang ini. Aku sekarang bisa duduk di tempat ini, tempat yang sama dengan orang-orang yang aku kagumi. Aku bisa sekolah ke luar negri, ke negara para nabi. Meski lamban, belajar lebih dari satu bahasa.

Aku melihat disekelilingku, banyak yang bilang negeri ini paling indah bila di hayati, semua terlihat cantik, Colleseom, sungai Nil, Piramida, semua seperti miniatur sempurna. ___No, this is maybe... Gumam saya dalam hati.

Dia tersenyum.

“Kamu tumbuh menjadi pribadi yang penuh empati dan memiliki good working attitude dengan pengalaman hidup kamu ini. Itu bagus?” Timpalnya bergaya bahasa inggris campur.
Aku balas tersenyum. “Ya…i am so lucky?” Balasku nggak mau kalah.

Aku melamun lagi, memikirkan, betapa Allah telah bermurah hati memberkahi hambanya dengan hidup ini. Every second of my life is a blessing. Though God act mysteriously, but i have faith in Him. We can’t understand Him by conecting the dots forward, but only by conecting the dots backward. “What unconvenients in my past are the causes to my wonderfull life now? “Fabiayyialaai robbikumaa tukadzibaan? “Dan nikmat Tuhan manakah yang kamu sia siakan?

___ 04.02/14-007-10" Rob'ah el AD

Monday, October 15, 2007

BUkan Siapa**

___ Bagian Hidup Normal


SEIRING perubahan waktu, dari hari berganti hari, minggu bosan dengan kemingguannya, bahkan bulan mulai enggan tuk terlambat datang bulan. Dapat di rasakan, semua yang telah kita lakukan membawa harapan yang berujung kekecewaan. Harapan yang semestinya berada di depan, di tempat paling muluk dalam relung hati, berubah kekecewaan menyusul sebelum harapan itu tiba, ketika, pada akhirnya, rangkaian alam hayal yang awalnya tersusun dengan rapi, serta semua impian indah ternyata tercampak di batu karang kehidupan nyata yang gersang, getir, dan gelap.

Musnah sudah harapan, persahabatan dua manusia egois yang selalu dipenuhi suasana jiwa serba angkuh, congkak dan keras kepala. Membuat keduanya kehilangan daya saling mengisi, saling mengingat serta saling percaya. Hidup seperti telah kehilangan maknanya. Kekerasan antar pribadi, antar watak dan keinginan, juga antar persepsi pandangan pendapat, tumbuh kembang dengan tidak waras. Dan amarahpun menjadi hal yang biasa sebagai alat tercanggih untuk menyelesaikan suatu perkara. Cuek, acuh, risih bahkan benci lama-lama menjadi bagian hidup normal.

Mereka memang tidak lumpuh akan hal itu, tapi kelihatan tak berdaya. Aturan pergaulan hanya ada di dalam buku harian “mawas diri untuk diri sendiri”. Bahkan di bagian paling ideal, segala keinginan dan kehendak diri telah menjadi syarat utama menjadi pribadi yang unggul.

Seorang kawan yang lemah sedang menghadapi sebuah perkara, harus membela diri tampa harus berurusan dengan kawan sebelahnya, tak tahu ke mana bertanya dan kepada siapa minta bantuan. Seorang sahabat yang bersumpah sebagi orang yang selalu siap berada didekatnya, dan berjanji lurus dalam segenap sepak permasalahan yang akan dihadapi, menjadi buta dengan gelapnya warna putih dan tuli dengan tenangnya pombensin depan rumah meledak.

Segala corak kepalsuan dijunjung tinggi. Kejujuran dengan sendirinya ditolak. Di belakang belantara rumah, misalnya, orang jujur dijauhi, dielakkan dan dicuthik jauh-jauh karena dianggap skop berbahaya. Ia tak bisa diajak bersekongkol melakukan kebaikan kolektif untuk dirinya.

Persahabatan dan Kebersamaan edankah yang dialami? Setahu saya, persahabatan edan itu gambaran persahabatan tom & jerry -mungkin lebih khusus di sini- atau seperti yang terjadi pada zaman kolonial Belanda, yang membuat jiwa sang pujangga petualang, Raden Markopolo, gundah gulana, masgul, dan resah karena ia bukan pribadi yang cocok hidup bersama Ratu Cleopatra.

Kalau begitu apakah ini yang disebut persahabatan kolotido, persahabatan yang penuh rasa tido-tido, alias serba ragu, penuh ketidakpastian, dan tak berani blak-blakan secara tegas? Mungkin juga bukan, karena persahabata seperti Teletabis; Tungkiwingki, Dipsi, Lala, Pho bersih bagaikan kandang kebo tampa harus memiliki aral lintang yang berbeda? Atau juga antara Adi Andojo Sutjipto dengan Benyamin Mangkudilaga, dan Mulia Lubis, bukankah contoh pribadi yang tidak tido-tido? Bahkan persahabatan Sutradara Gintings Markoteng dengan Artis anggun Madonna paragawati, bukanlah orang-orang hebat di habitat kebersamaan mereka?

Kalau begitu, apakah ini persahabatan kolo Bedu, persahabatan ketika dari masing-masing kita dipenuhi bebedu alias masalah yang silih berganti, dan beraneka pula coraknya sehingga kita dibikin kehilangan kepercayaan diri dan harapan yang sehat secara alami? Saya kira juga bukan. Langit, bumi, gunung-gunung, dan laut, memang marah dan bosan melihat kemunafikan kebersamaan ini, dan diam-diam tiap hari melecehkan orang lain, hingga mereka minta ijin kepada kita buat meluluhlantakkan permasalahan mereka dengan berbagai cara, tapi bukankah dengan sabar, dan senyum kalem mereka bertanya,: "Sekiranya kalian yang menjadikan kebersamaan dari masing-masing perbedaan itu- niscaya kalian pun menyayanginya, melebihi sayang seekor induk kerbau, kepada anak-anak sapi?"

___ 00.00/10-16-200L"Prasa

Surat BUatmu

___ KEMBALI SUCI

Menyaksikanmu ruku' rekat waktu, saat pagi begitu syahdu mendinginkan keringat menjadi batu-batu penghitung tasbih.
Dalam renta usia yang terus memanjat bermunajat kalimat takbir, menahan nafsu amarah: berputar, tetapi tak pernah berulang
.
subhanallah! alhamdulillah! allahuakbar!

Menyaksikanmu sujud sajadah kehidupan, menguak cahaya dalam kepasrahan
mencari diri yang hilang dalam kegalauan
.
Begitu juga tahun-tahun yang lampau, kesucian adalah pintu masuk semesta dan engkau tengah berjuang menggapai kunci kemenangan
, kemenangan kembli suci.
allahuakbar.. laa ilaha ilallahu allahuakbar! Allahuakbar.. wa lillahilhamdu!

Tak perlu pesta, tak perlu bertepuktangan. Kemenangan adalah gerbang bagi perjuangan yang mesti kita menangkan.

___06.03/13-007-10" Jendela

BUah Fitri

___ LaHiR BaTiN

SETELAH hampir sebulan kita berjuang melawan hawa nafsu, lapar, haus, amarah dan segala yang merusak niat puasa kita, tidak lengkap rasanya jika kita tidak saling meminta maaf dan memaafkan. Segala kebaikan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan belumlah sempurna, konon “katanya sieh!:D” pahala kita masih menggantung diantara langit dan bumi sebelum kita mengeluarkan zakat dan saling memaafkan. Dan segalanya akan kembali suci, “idul fitri”.

Dengan kesucian, kebersihan hati, kita mulai lagi melangkah ke dunia, di alam nyata, dimana kita kembali menorehkan sejarah.

Semoga tetap terjaga segala langkah perjuangan kita. Seperti kepompong yang menjelma menjadi kupu-kupu setelah berpuasa berhari-hari. Dan kitapun akan menjelma menjadi keindahan dengan kasih sayang dan rahmat Tuhan.

Kini, telah tiba waktunya buat kita untuk bergembira bersama kemenangan kita, bukan kemenangan atas orang lain, bukan atas negara lain, tetapi atas amarah, nafsu dan segala kejahatan yang menguasai kita.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H, Mohon Maaf Lahir Batin.

___19.03/12-007-10"Kairo

Saturday, October 6, 2007

Menu BUka

___Bakso Vs Ayam Merah


BAKSO terlalu tangguh untuk Ayam Merah. Terbukti dalam lawatannya di Meja Makan, Senin (32/13) menjelang buka puasa. si_Kulit Bundar Pentol dkk sukses mencuri tiga poin penuh berkat selera makan Majikan meningkat di bulan Romadhon ini.
Hasil ini membuat posisi Bakso aman di puncak klasemen. Total hingga sepuluh mangkok selama puasa sudah dilalui Majikan, berarti skuad asuhan Daging Sapi ini mengoleksi sepuluh kali menu santapan faforit.
Di lain pihak, Ayam Merah makin tersungkur di dasar meja. Hingga berakhirnya laga ini, tim besutan si_Jago itu harus puas dengan dua piring sebagai teman menu makan Majikan selama puasa dan menempati posisi runner up dari belakang meja.
Meski menang, pertandingan laga kali ini bukan berarti Bakso tenang dan menghadapi Ayam Merah dengan nyantai. Dilaga kali ini kubu Ayam Merah bisa dibilang lebih pantas meraih menu istimewa mengingat banyaknya pernak-pernik yang mereka miliki mengundang mata Majikan langsung tertuju padanya.
Terbukti Bakso langsung terancam ketika pertandingan baru satu menit berlangsung. Berawal dari blunder Bumbu Merah hangat, irisan Kentang dan Wortel berhasil menyambut sendok majikan dan menyantapnya dengan penuh kenikmatan melalui mulut gawang Majikan.
Namun Pentol kapten Bakso cukup cekatan melihat situasi dan kondisi pertandingan menu buka ini. Dengan mengundang aroma khusus dan bentuk bulat unik dari tubuhnya, walhasil Majikan berhenti menyantap Wortel dan beralih mengambil seseduh Kuah Bakso serta Mie Rebus sebagai sajian permulaan buka puasa.
Tiga menit berselang, giliran Ayam Merah membuka peluang. Crossing Caos Tomat disambut cukup apik oleh kapten Ayam Merah dengan dadanya. Sayangnya bola sendok hanya menyentuh mistar kuah mangkok Ayam Merah yang nyaris tidak menyeduh daging Ayam sama sekali.
Di menit kelima giliran Ayam Merah ketiban sial. Kapten si_Pentol Bakso sukses melepaskan pandangan mata Majikan meski pada akhirnya bisa ditepis Daun Bawang dan hanya mampir ke Caos Tomat sebelah kiri Mangkoknya.
Empat menit menjelang Majikan turun mengambil segelas air minum, Pentol kembali beraksi. Kali ini ia menghentikan perhatian Majikan pada Ayam Merah, yang memanfaatkan kesalahan Caos Tomat mengenai piring nasi Majikan. Dan akhirnya Majikan pun hanya memilih Mie Rebus dalam Bakso dan tentunya ditemani kapten Pentol untuk dijadikan teman makan buka puasanya.
Memasuki babak kedua, baik Ayam Merah maupun Bakso masih menemui kebuntuan dan belum juga mencetak kekenyangan Majikan. Pelatih Bakso Tulang Kikil pun melalui tangan Majikan melakukan perombakan pada timnya, yaitu memasukkan Bawang Goreng dan menarik Daun Bawang keluar arena mangkok Bakso.
Terbukti positif, Bakso unggul ketika pertandingan memasuki menit ke-injuri time kekenyangan. Adalah Kapten Pentol yang menjadikan Bakso memimpin menu terlaris lewat tandukan kepala botaknya ke gawang mulut Majikan, dan itu terjadi berulang-ulang.
Aksi Pentol tersebut membuat pemain Ayam Merah semakin terlecut untuk membalas. Sayangnya peluang demi peluang selalu berakhir dengan kegagalan, entah itu karena dihadang saat ini menu untuk buka puasa atau karena buruknya citarasa yang ia miliki kurang memuaskan. Skor 3-2 untuk Bakso bertahan hingga usai santapan buka puasa, dan akhirnya Majikan pun meninggalkan meja makan setelah minum segelas air putih mineral dan brdo’a "Alhamdulillahil Ladzi Ath’amana wa Saqanaa Wa Ja’alanaa Minal Muslimin".

___09.23/01-10-207"Qotamia

Friday, September 28, 2007

Coretan BUngkam

___MARCOPOLO

Tubuh kecil mungil
Bukan rintang derap langkah kaki
Tuk tetap melangkah maju
BERANI

Tatkala harus memilih bara dan api
Maka dia kan pilih keduanya
Hembuskan tawa dalam sengsara
Meski randu kandas tertindas
TANGGUH

Siapakah gerangan engkau
Wahai Marcopolo PEMBERANI dan TANGGUH..?

___08.33/15-005-07"Soqor Quraesy

Pengalaman BUnga

___Kolpajung

TERMINAL Kolpajung, salah satu terminal terbesar di pulau garam, pulau madura. Terminal itu terlihat lengang dini hari. Para penumpang, tepatnya pemudik, masih dapat dihitung dengan jari tangan dan kaki. Salah seorang penumpang yang terdampar di terminal itu, terdapat seorang perempuan muda. Perempuan itu tak henti-henti menahan kantuk, beberapa kali ia coba membentangkan koran pagi tadi yang dibeli sebelum berangkat menuju desa dimana ia di lahirkan, namun koran itu kini nyaris basi dipegangnya. Huruf-hurufnya makin tak terbaca, buram kena keringat yang bercucuran menemani panasnya cuaca. Ia tak mampu lagi membacanya karena kantuk dan lelah setelah selama hampir 7 jam diombang-ambing dalam perjalanan tadi. Perempuan itu memutuskan mudik setelah tiga tahun tak pulang kampung. Ia mengambil cuti lebih cepat sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Wonocolo Surabaya. Sang majikan setuju karena ia bekerja baik selama empat tahun terakhir. Bahkan selain gaji bulanan, ia mendapat tambahan saku sebagai tunjangan hari raya.

Ia sudah merinci uang yang dibawanya untuk beli baju dan kain buat embuk (panggilan seorang Ibu di pulau madura); sarung, koko, dan peci untuk eppak (ayah; Madura), serta pakaian untuk kedua adiknya. Tak lupa pula untuk beli kue, daging, ketupat, dan sedikit oleh-oleh nenek dan keponakan. Ia tersenyum. Wajahnya sumringah. Ia bayangkan betapa bahagia keluarga menyambut kedatangannya. Embuk pasti akan menyambutnya dengan air mata haru lantaran rindu yang terpendam.

Embuk merasa berat tatkala ia pamit mencari pekerjaan di Surabaya. Sedangkan eppak, walau dengan cemas, mengantar kepergiannya hingga ke halaman depan. Sambil mengusap rambut dan mengelus wajah putri sulungnya yang masih berusia 15 tahun kala itu, eppak berpesan, "Bekerjalah di tempat orang dengan baik dan jujur. Jangan lalai beribadah...,"

Perempuan itu mengangguk, mengambil lengan eppak dan mencium. Setetes air mata jatuh basahi lengannya. "Pergilah dengan meninggalkan air mata dan pulang nanti dengan senyum keberhasilan," ucap eppak lagi. Semacam doa, sebagai harapan.

Setelah itu, perempuan itu menaiki kendaraan untuk meninggalkan kampung kelahirannya di pelosok Desa Gunung
naknong. Desa yang bila musim kemarau panjang seperti tahun ini, sawah dan ladang akan mati. Tanah retak di mana-mana. Belantara menguning sehingga mudah sekali terbakar. Penduduk yang cuma berharap hidup dari bertani itu benar-benar nelangsa menghadapi kemarau semacam ini. Tak ada lagi harapan selain menunggu keluarganya yang merantau bekerja di kota. Atau berharap ada tetangga yang memberi bantuan untuk sekadar mencicipi hari kemenangan: Idul Fitri, sekiranya keluarga tak ada yang bekerja di kota.

Foto besar di halaman pertama koran yang dipegangnya menunjukkan lumpur panas yang telah mencapai atap rumah penduduk. Ia letakkan koran yang tak sempat dibacanya itu, yang dibeli sekadar untuk membunuh kantuk dan bisa digunakan pula sebagai kipas, di sebelahnya. Ia mulai tak tahan membia
rkan kedua matanya terbuka. Tapi, apakah ia bisa terlelap di terminal yang setiap saat akan mengancam ketenteramannya? Konon, dari cerita dan berita di media massa, terminal yang kini tengah disinggahinya itu terkenal paling seram. Orang lebih baik memilih bermalam di terminal sebelumnya ketimbang istirahat di terminal ini. Penumpang lebih baik turun di luar terminal dan menyetop bis di perempatan jika ingin melanjutkan perjalanan, daripada turun di terminal ini.

Ia sempat membaca berita di media masa yang mengiris-iris nuraninya. Seorang penumpang, cacat pula kedua kakinya, diseret-seret calo terminal lalu diperas setelah naik coult (mobil angkutan antar kota; Madura). Tak sampai di situ, di atas coult seluruh miliknya dipereteli oleh supir yang merangkap sebagai penjahat. Ia lalu diturunkan di jalan setelah ludes miliknya, kecuali pakaian yang dikenakannya. Sang korban kemudian mengadukan kepada petugas keamanan. Meski ia diberi transpor sekadarnya, akan tetapi harta dan penjahatnya tak bisa lagi ditemui.

Membayangkan peristiwa itu, ia kerap bergeremang bulu kuduknya. Tetapi kengerian itu mengalahkan semangatnya untuk cepat tiba di rumah dan memeluk embuk yang mungkin sudah lama menantikan kedatangannya. Itu sebabnya, meski acap tegang dan bulu kuduknya bergeremang sejak pertama tadi masuk terminal, ia berupaya hidupkan semangat agar tetap tegar. Supaya terlihat bahwa ia memang pemberani. Dengan
begitu ia berharap para preman di sana enggan mengganggunya.

Bus yang dinaikinya dari kota tempat ia bekerja tiba beberapa jam lalu. Dan ia harus mengendarain pedesaan (angkot; Madura) untuk bisa sampai di desanya. Namun untuk mendapatkan pedesaan itu, ia harus istirahat hingga pukul 06.50 kelak. Karena pada jam segitu pedesaan yang akan membawanya ke kampung halamannya muncul. Satu jam pertama dilaluinya dengan aman. Apalagi, tiada gerakan mencurigakan yang membuatnya takut.
Sesekali ia raba saku celananya, ia masih rasakan sesuatu yang tersembunyi rapi di sana. Itulah uang yang didapatnya dari perantauan.

Berkali-kali ia bersyukur setiap merasakan bahwa uangnya masih utuh di saku. Ia bertekad untuk terus menjaganya, berupaya untuk tidak terlelap sekejap pun. Ia tak akan membiarkan penjahat terminal merogoh sakunya. Sebab ia tak ingin pulang bertangan hampa.

Ya!! Ia kerap men
dengar kabar banyak para tenaga kerja wanita yang pulang hampa karena ditipu, dicopet, atau diperas oleh penjahat di perjalanan. Bahkan ia pernah baca berita di koran tahun lalu, seorang TKW di luar negeri yang baru menginjakkan kaki di bandara Soekarno Hatta lalu habis bawaannya dipereteli penjahat. Tidak saja barang dan uang yang dibawanya dikuras, bahkan ditambah dengan pemerkosaan.

"Kejam!" gerutunya saat itu. Ia menampik anggapan bahwa di negeri yang ramah seperti Indonesia, kekejaman tidak akan ada. Sepertinya, setiap musim mudik seperti saat ini justru kejahatan semakin meningkat. Tidak bisa bulan Ramadan menjadi ukuran membuat orang sa
bar dan penolong. Jelang Lebaran malah dijadikan peluang menguntungkan bagi para penjahat. Sasarannya jelas, para pemudik.

Ia mulai cemas setiap mengingat peristiwa-peristiwa seperti itu. Ketakutan mengaliri tubuhnya, seakan mengikuti aliran darahnya. Ia coba membaca ayat kursi, ia berupaya mengingat dan membacakan setiap doa yang dihafalnya demi keselamatan dirinya.
"Ah, sekiranya pagi-pagi aku sudah di terminal dan kapal laut tak terlambat merapat, sejak sore tadi aku tib
a di terminal laknat ini. Mungkin aku sekarang sudah sampai di rumah, sudah bersahur bersama embuk, eppak, dan adikku," ia bergumam. Tetapi ia tepis angan-angan itu. Tak baik berandai-andai, pesan eppak. Jangan menyesali apa yang sudah terjadi, karena manusia tak akan mungkin terbebas dari takdir.

Perempuan itu mengembangkan senyum. Ia mulai mengira-ngira bagaimanakah wajah embuk dan eppak, apakah mereka sudah berubah setelah tiga tahun tak bertemu? Bagaimana kedua adiknya, tetap seperti dulu sebelum berpisah dengannya? Kemudian tak terasa ia pun terlelap tidur, meski awalnya ia bertekat tidak akan memejamkan mata sedetikpun. Namun; Ia memang sangat lelah.

==

"Tak usah, Mas. Bukan aku menolak kebaikanmu. Kau pasti capai. Kampungku jauh di pelosok", tukasnya kepada kekasih yang ia idamankan menawarkan untuk mengantarnya. “Lagipula, menghabiskan ongkos saja. Nanti Mas tak bisa Lebaran di kampung. Nanti saja kalau uang kita sudah banyak, aku akan ajak Mas ke kampungku sekalian menikah”.
"Jangan marah ya, Mas...,"

"Kamu juga enggak marah kan, aku tak bisa ngantar?" kekasihnyapun balik bertanya. Kemudian keduanya menguar senyum. Tentu cuma keduanya yang bisa memaknai senyuman itu.

Kini bayangan lelaki itu bermain-main. Seperti sedang membelai rambutnya, lalu turun ke leher jenjangnya, dan turun lagi, makin menurun lagi. Ia membiarkan jemari kekar namun penuh perasaan milik kekasihnya itu menari-nari di tubuhnya. Getaran-getaran cinta yang menggerakkan dan membangkitkan sukma kehangatan di pagi buta itu.

Lelaki itu makin rapat, tangan kekarnya kian mencengkeram tubuhnya. Lalu sebuah benda terasa dingin saat menyentuh kulit lehernya. Itulah yang menyadarkannya bahwa ia sedang terancam. Terperanjat bangun dari tidurnya. Bencana tengah mengancamnya. Ia bergidik. Sangat cemas.

"Jangan berteriak! Bisa kubunuh kamu!" ancam lelaki bertangan kekar dan penuh tato. Rambutnya pendek, berkumis tipis, beralis tebal. Berbaju dan celana merek Levi’s berwarna biru laut. Suaranya berat, terkesan serak. “Pastilah lelaki itu preman terminal ini”. Dalam kalut ia coba mempehatikan siapa lelaki yang sedang mengancam
nya itu.

"Kamu ikut saya sekarang. Jangan macam-macam kalau kamu mau selamat!" lelaki itu kembali mengancam sambil menyeretnya ke mobil pedesaan yang terparkir di kegelapan. Hanya sekejap, angkutan antar desa itu berubah gaduh. Namun suara minta tolongnya tak bisa keluar, seutas kain melingkar di mulutnya, hingga tidak ada yang mendengar? Dan,, “buk,” sebuah benda mendarat di pelipisnya. Seketika pandangannya menjadi gelap, hitam, dan...?
==

PEREMPUAN itu merapikan pakaiannya yang kusut dan semrawut. Rambutnya yang lurus dan selalu rapi, kini acak-acakan. Kedua pelupuk matanya memerah, ada sedikit kebiruan di sekitar pelipis: tentulah itu karena benturan benda (bekas tinju?). Ia tak ingat apa-apa lagi, ia mengira kekasihnya yang telah mencumbuinya.

”Ah, tidak!! “Tadi aku tadi hanya bermimpi,” tidak mungkin kekasihnya itu akan berlaku kasar. Lelaki idamannya itu, ia tahu, romantis dan penyayang. Ia juga tak suka minum alkohol, kecuali bau rokok dari mulutnya. Tetapi, lelaki yang mengancamnya maghrib tadi adalah lelaki kekar dan kasar, mulutnya berbau alkohol, dan suaranya keras menggetarkan. Ia hafal betul dengan logat suara lelaki yang mencampakkan dirinya, cuma ia tak mau gegabah menuduh suatu etnis. Bukan soal suku, tapi ini kelakuan individu.

Maka ketika ia melaporkan peristiwa nahasnya di Terminal Kolpajung tadi pada pihak keamanan, ia tak menyebut suku. Hanya memberikan keterangan kronologis dan sedikit ciri-ciri yang dapat ia kenali dalam remang-remang. Meski ia meragukan, dari keterangannya itu petugas dapat meringkus pelaku!

Ia tertunduk. Matanya benar-benar bengkak kini. Pipinya memerah. Rasa perih yang berasal dari selangkangannya seperti tak bisa ia tahan. Pedih, dan sangat sakit!

Perempuan itu ngelangut di kursi belakang ankutan yang tengah melaju ke kampung halamannya. Ia tak lagi bercerita pada siapa pun, setelah kepada petugas keamanan di terminal tadi. Biarlah semua itu jadi cerita amat laknat dalam batinnya.

Ia akan serahkan seluruh uang yang tak ikut digasak. Ia bersyukur. Untunglah majikannya menyarankan agar celana panjangnya dibuat kantung khusus di dalam untuk menyimpan uang, sehingga tak terjamah penjahat. Namun tas berisi pakaian dan alat perhiasan raib di kursi terminal ketika ia diseret ke mobil.

ia tak membuka mulut ketika seorang tetangga membawa koran yang dibelinya di Pasar Kecamatan. Di koran lokal itu ada berita pemerkosaan di Terminal Kolpajung, dan korbannya-disebut bernama Bunga-berasal dari Desa Gunung Naknong.

"Bukan, mungkin salah tulis…," ia mengelak. Meski, tak urung, batinnya kembali remuk!!

___18.45/15-006-12"IKBAL

Saturday, September 22, 2007

Puisi BUih

___Soker

Diammu makin menjadi
Seperti gerimis yang tak juga pergi

Kemana kata
Yang baru hadir
Saat kita menepis tabir

Diammu membuat perih
Hingga kata yang sempat ada
Kusimpan saja dalam basah mata

___20.25/10-12-1427 "Ladang Batu.

Friday, September 21, 2007

Cerita BUta

___Pelacur

Di pojok pasar mobil kota Kairo, tempat Hery biasa nongkrong sekedar menghilangkan kejenuhan dan rasa penat. Sore itu ketika pasar masih ramai dengan pedagang menjajakan mobilnya, tiba-tiba seorang perempuan datang menghampiri Hery. Perempuan itu mengambil tempat di sebelah kirinya, duduk di atas jok pembatas pinggir pasar seperti dirinya. Hery baru saja terkesima oleh sebagian kehidupan nyata para pedagang mobil, yang tanpa sengaja ditemukannya sore itu. Sebuah keberanian dan ketabahan menunggu para pembeli di terik siang yang panas. Sebuah kerja keras yang nyaris tak tercatat.

Dan sekarang dengan kehadiran perempuan itu menambah keterkesimaannya pada suasana pasar sore itu. Malah segera menimbulkan bermacam dugaan di benaknya. Sejak mula ia telah melihat perempuan itu di antara gerombolan pedagang yang sedang menjajakan dagangan. Tapi, pakaian dan penampilan perempuan itu agak berbeda dari para perempuan biasanya. Hingga sesaat Hery sempat berpikir, boleh jadi perempuan itu adalah turis lokal seperti dia. Namun ketika perempuan itu sudah duduk di sampingnya, lalu mencium bau debu yang menyebar dari tubuhnya, selanjutnya Hery bisa memastikan, bahwa perempuan itu adalah seorang penduduk kota Sahara ini.

"Dari mana?" begitulah Hery kemudian berani bertanya, sekadar menghalau kebisuan di antara tiupan angin dingin sore yang mulai gelap. Perempuan itu menjawab sekenanya namun kurang jelas bagi pendengaran Hery. Sudah menjadi kebiasaannya selama tinggal di Negeri Fir’aun ini, kalau berbicara dengan penduduk asli pendengarannya kurang cekatan seperti halnya penyakit tak bisa tidur, makan ala kadarnya, melamun dalam kesendirian, aahh!! Entahlah. Hery tak mempersoalkan lebih jauh. Ia mencoba menenangkan pikirannya dengan menawarkan rokok ketika perempuan itu menoleh ke arahnya.

Dalam samar tamaran cahaya lampu malam mereka saling mengamati, lalu perempuan itu mengambil sebatang rokok, dan Hery pun dengan sigap menyalakan mancis untuknya. Kemudian kembali pada kesibukan masing-masing, diam, tak bergeming. Seolah khusuk dengan rokoknya masing-masing.

Agak menggigil, Hery mencoba menenangkan dirinya dengan memandang ujung pasar. Dalam kesamaran sore berkabut malam itu, pasar benar-benar lenggang kini. Para pedagang yang sesaat tadi masih tampak berupa gerombolan semut, kini benar-benar raib ditelan malam. Dan para petugas keamanan yang sedari tadi sibuk mengatur lancarnya lalulintas, kini menghilang di perkampungan di sebelah kanan sana.

"Mereka hampir tak ada," gumam Hery.

"Apa?" tanya perempuan itu.

"Orang-orang itu hampir tak ada, tak menjadi perhatian orang banyak." kata Hery agak terbata, yang kemudian disesalinya sebagai keterlanjuran. Tiba-tiba saja ia merasa percuma, telah mencetuskan sebagian dari beberapa pikiran jernih yang ditemukannya. Ia pun menjadi gugup ketika menoleh kepada perempuan itu. Ia benar-benar merasa baru saja berbicara pada tempat dan waktu yang salah.

Dan mungkin juga kepada orang yang salah? Dan ia semakin gugup ketika mendengar kata-kata perempuan itu. “Siapa yang tak pernah kesepian, siapa yang tak ingin dihibur dalam malam berkabut dingin!!” Hery seakan baru saja mendengar hembusan angin dingin berdengung nyaring di sisi telinganya. Sekilas ia kembali menoleh dan menangkap senyum sumbang perempuan itu. Berawal dari saling pandang, membagi senyum.

Adalah sebuah tradisi yang sudah kental dan sangat dikenalinya. Ia tahu persis, bahwa ia tak perlu menjaga harga diri bila tidak ingin rugi sedikitpun. Ia kemudian menjamah tangan si perempuan berbau debu itu. Dan perempuan berbau debu itu membalas dengan lebih merapatkan lagi tubuhnya. Lalu, ada beberapa saat mereka selanjutnya seperti tersenyum dan mengisyaratkan sesuatu, isyarat itu hanya mereka berdua memahaminya.

"Tapi kamu harus membayar," kata perempuan itu berbisik sembari menarik tangannya dari pegangan Hery. Ia menyebutkan angka dan kembali duduk. Lalu membenahi kerudung dan pakaiannya. Dalam tamaran cahaya malam, Hery melihat, ada sebuah rasa percaya diri yang sedang mencoba ditegakkan oleh perempuan itu.

"Mahal!!" kata Hery sembari menenangkan napasnya meski ia tahu rasa licik mengorek dari dasar hatinya.

"Biasa di sini," kata perempuan itu.

"Ya, tapi terlalu mahal," Hery mengelak.

"Ah!!" keluh perempuan itu.

Hery melihat bagaimana perempuan itu menatap tak percaya atas penemuannya, dan serentak rasa percaya diri yang sedang coba ditegakkan, kini melemah dan hampir pupus dari wajahnya. Ia duduk dengan canggung.

Dan Hery pun kemudian merasa tak perlu terlalu jauh menikmati kelicikannya. "Di mana tempat kamu?" tanyanya.

"Di mana tempat kamu?" ulangnya seraya bangkit, sesaat perempuan itu nyaris tak memberi reaksi apa-apa. Namun tiba-tiba perempuan itu menyunggingkan senyum, sebuah senyum mesum. Dan kini, ia tidak lagi canggung ketika ikut bangkit. Bahkan ia melirikkan sepasang mata genitnya, dan menuntun tangan Hery agar ikut bersamanya. Kemudian, mereka berjalan di atas trotoar berwarna hitam kecoklatan manjauhi tepi pasar yang kini mulai gelap.

Mereka menuju perkampungan belakang pasar mobil. Disebuah rumah apartemen belum selesai direnofasi berlangit-langit rendah, perempuan itu menyalakan lilin. Dan menjadi jelaslah, bahwa rumah itu tak begitu bersih. Berlantai tanah. Sempit. Panas. Dengan dinding yang mulai lapuk di sana-sini. Di sebuah sudut kamar tergolek sisa-sisa kayu penyanggah dinding yang tak terpakai lagi, dengan beberapa batu bata besar yang terbuat pasir dan semen.

Merapat ke dinding, sebuah dipan dengan kasur telanjang, sedang dihampiri oleh perempuan itu. Sebuah seprei berwarna kusam digelarkan dan dibenahi dengan tergesa-gesa.

"Kalau dengan lelaki yang saya senangi seperti suami saya, saya akan melayani sungguh-sungguh," kata perempuan itu nyaris bergumam, namun terburu-buru, dan mulai tersenyum, tertawa kecil, serta dibumbui lirikan genit.

Sementara memandangi kesibukan perempuan itu, Hery yang sudah terbiasa dengan kesendiriannya, setiap kali merasa terpukul oleh bayangan tubuhnya yang membesar di dinding akibat sorotan cahaya lilin.

Dan kemudian ia merasa tak harus menjadi seorang lelaki suci, ketika akhirnya mengambil sebuah keputusan sederhana, keluar begitu saja, lari seribu langkah tanpa harus pamit kepada perempuan itu. Namun HATI dan alam pikirnya terus bergeming.

Siapa yang tak ingin dihibur malam berkabut dingin seperti ini, TUHAN!! ”

___ 22.15/27-207-08 "Kairo