Friday, September 28, 2007

Coretan BUngkam

___MARCOPOLO

Tubuh kecil mungil
Bukan rintang derap langkah kaki
Tuk tetap melangkah maju
BERANI

Tatkala harus memilih bara dan api
Maka dia kan pilih keduanya
Hembuskan tawa dalam sengsara
Meski randu kandas tertindas
TANGGUH

Siapakah gerangan engkau
Wahai Marcopolo PEMBERANI dan TANGGUH..?

___08.33/15-005-07"Soqor Quraesy

Pengalaman BUnga

___Kolpajung

TERMINAL Kolpajung, salah satu terminal terbesar di pulau garam, pulau madura. Terminal itu terlihat lengang dini hari. Para penumpang, tepatnya pemudik, masih dapat dihitung dengan jari tangan dan kaki. Salah seorang penumpang yang terdampar di terminal itu, terdapat seorang perempuan muda. Perempuan itu tak henti-henti menahan kantuk, beberapa kali ia coba membentangkan koran pagi tadi yang dibeli sebelum berangkat menuju desa dimana ia di lahirkan, namun koran itu kini nyaris basi dipegangnya. Huruf-hurufnya makin tak terbaca, buram kena keringat yang bercucuran menemani panasnya cuaca. Ia tak mampu lagi membacanya karena kantuk dan lelah setelah selama hampir 7 jam diombang-ambing dalam perjalanan tadi. Perempuan itu memutuskan mudik setelah tiga tahun tak pulang kampung. Ia mengambil cuti lebih cepat sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Wonocolo Surabaya. Sang majikan setuju karena ia bekerja baik selama empat tahun terakhir. Bahkan selain gaji bulanan, ia mendapat tambahan saku sebagai tunjangan hari raya.

Ia sudah merinci uang yang dibawanya untuk beli baju dan kain buat embuk (panggilan seorang Ibu di pulau madura); sarung, koko, dan peci untuk eppak (ayah; Madura), serta pakaian untuk kedua adiknya. Tak lupa pula untuk beli kue, daging, ketupat, dan sedikit oleh-oleh nenek dan keponakan. Ia tersenyum. Wajahnya sumringah. Ia bayangkan betapa bahagia keluarga menyambut kedatangannya. Embuk pasti akan menyambutnya dengan air mata haru lantaran rindu yang terpendam.

Embuk merasa berat tatkala ia pamit mencari pekerjaan di Surabaya. Sedangkan eppak, walau dengan cemas, mengantar kepergiannya hingga ke halaman depan. Sambil mengusap rambut dan mengelus wajah putri sulungnya yang masih berusia 15 tahun kala itu, eppak berpesan, "Bekerjalah di tempat orang dengan baik dan jujur. Jangan lalai beribadah...,"

Perempuan itu mengangguk, mengambil lengan eppak dan mencium. Setetes air mata jatuh basahi lengannya. "Pergilah dengan meninggalkan air mata dan pulang nanti dengan senyum keberhasilan," ucap eppak lagi. Semacam doa, sebagai harapan.

Setelah itu, perempuan itu menaiki kendaraan untuk meninggalkan kampung kelahirannya di pelosok Desa Gunung
naknong. Desa yang bila musim kemarau panjang seperti tahun ini, sawah dan ladang akan mati. Tanah retak di mana-mana. Belantara menguning sehingga mudah sekali terbakar. Penduduk yang cuma berharap hidup dari bertani itu benar-benar nelangsa menghadapi kemarau semacam ini. Tak ada lagi harapan selain menunggu keluarganya yang merantau bekerja di kota. Atau berharap ada tetangga yang memberi bantuan untuk sekadar mencicipi hari kemenangan: Idul Fitri, sekiranya keluarga tak ada yang bekerja di kota.

Foto besar di halaman pertama koran yang dipegangnya menunjukkan lumpur panas yang telah mencapai atap rumah penduduk. Ia letakkan koran yang tak sempat dibacanya itu, yang dibeli sekadar untuk membunuh kantuk dan bisa digunakan pula sebagai kipas, di sebelahnya. Ia mulai tak tahan membia
rkan kedua matanya terbuka. Tapi, apakah ia bisa terlelap di terminal yang setiap saat akan mengancam ketenteramannya? Konon, dari cerita dan berita di media massa, terminal yang kini tengah disinggahinya itu terkenal paling seram. Orang lebih baik memilih bermalam di terminal sebelumnya ketimbang istirahat di terminal ini. Penumpang lebih baik turun di luar terminal dan menyetop bis di perempatan jika ingin melanjutkan perjalanan, daripada turun di terminal ini.

Ia sempat membaca berita di media masa yang mengiris-iris nuraninya. Seorang penumpang, cacat pula kedua kakinya, diseret-seret calo terminal lalu diperas setelah naik coult (mobil angkutan antar kota; Madura). Tak sampai di situ, di atas coult seluruh miliknya dipereteli oleh supir yang merangkap sebagai penjahat. Ia lalu diturunkan di jalan setelah ludes miliknya, kecuali pakaian yang dikenakannya. Sang korban kemudian mengadukan kepada petugas keamanan. Meski ia diberi transpor sekadarnya, akan tetapi harta dan penjahatnya tak bisa lagi ditemui.

Membayangkan peristiwa itu, ia kerap bergeremang bulu kuduknya. Tetapi kengerian itu mengalahkan semangatnya untuk cepat tiba di rumah dan memeluk embuk yang mungkin sudah lama menantikan kedatangannya. Itu sebabnya, meski acap tegang dan bulu kuduknya bergeremang sejak pertama tadi masuk terminal, ia berupaya hidupkan semangat agar tetap tegar. Supaya terlihat bahwa ia memang pemberani. Dengan
begitu ia berharap para preman di sana enggan mengganggunya.

Bus yang dinaikinya dari kota tempat ia bekerja tiba beberapa jam lalu. Dan ia harus mengendarain pedesaan (angkot; Madura) untuk bisa sampai di desanya. Namun untuk mendapatkan pedesaan itu, ia harus istirahat hingga pukul 06.50 kelak. Karena pada jam segitu pedesaan yang akan membawanya ke kampung halamannya muncul. Satu jam pertama dilaluinya dengan aman. Apalagi, tiada gerakan mencurigakan yang membuatnya takut.
Sesekali ia raba saku celananya, ia masih rasakan sesuatu yang tersembunyi rapi di sana. Itulah uang yang didapatnya dari perantauan.

Berkali-kali ia bersyukur setiap merasakan bahwa uangnya masih utuh di saku. Ia bertekad untuk terus menjaganya, berupaya untuk tidak terlelap sekejap pun. Ia tak akan membiarkan penjahat terminal merogoh sakunya. Sebab ia tak ingin pulang bertangan hampa.

Ya!! Ia kerap men
dengar kabar banyak para tenaga kerja wanita yang pulang hampa karena ditipu, dicopet, atau diperas oleh penjahat di perjalanan. Bahkan ia pernah baca berita di koran tahun lalu, seorang TKW di luar negeri yang baru menginjakkan kaki di bandara Soekarno Hatta lalu habis bawaannya dipereteli penjahat. Tidak saja barang dan uang yang dibawanya dikuras, bahkan ditambah dengan pemerkosaan.

"Kejam!" gerutunya saat itu. Ia menampik anggapan bahwa di negeri yang ramah seperti Indonesia, kekejaman tidak akan ada. Sepertinya, setiap musim mudik seperti saat ini justru kejahatan semakin meningkat. Tidak bisa bulan Ramadan menjadi ukuran membuat orang sa
bar dan penolong. Jelang Lebaran malah dijadikan peluang menguntungkan bagi para penjahat. Sasarannya jelas, para pemudik.

Ia mulai cemas setiap mengingat peristiwa-peristiwa seperti itu. Ketakutan mengaliri tubuhnya, seakan mengikuti aliran darahnya. Ia coba membaca ayat kursi, ia berupaya mengingat dan membacakan setiap doa yang dihafalnya demi keselamatan dirinya.
"Ah, sekiranya pagi-pagi aku sudah di terminal dan kapal laut tak terlambat merapat, sejak sore tadi aku tib
a di terminal laknat ini. Mungkin aku sekarang sudah sampai di rumah, sudah bersahur bersama embuk, eppak, dan adikku," ia bergumam. Tetapi ia tepis angan-angan itu. Tak baik berandai-andai, pesan eppak. Jangan menyesali apa yang sudah terjadi, karena manusia tak akan mungkin terbebas dari takdir.

Perempuan itu mengembangkan senyum. Ia mulai mengira-ngira bagaimanakah wajah embuk dan eppak, apakah mereka sudah berubah setelah tiga tahun tak bertemu? Bagaimana kedua adiknya, tetap seperti dulu sebelum berpisah dengannya? Kemudian tak terasa ia pun terlelap tidur, meski awalnya ia bertekat tidak akan memejamkan mata sedetikpun. Namun; Ia memang sangat lelah.

==

"Tak usah, Mas. Bukan aku menolak kebaikanmu. Kau pasti capai. Kampungku jauh di pelosok", tukasnya kepada kekasih yang ia idamankan menawarkan untuk mengantarnya. “Lagipula, menghabiskan ongkos saja. Nanti Mas tak bisa Lebaran di kampung. Nanti saja kalau uang kita sudah banyak, aku akan ajak Mas ke kampungku sekalian menikah”.
"Jangan marah ya, Mas...,"

"Kamu juga enggak marah kan, aku tak bisa ngantar?" kekasihnyapun balik bertanya. Kemudian keduanya menguar senyum. Tentu cuma keduanya yang bisa memaknai senyuman itu.

Kini bayangan lelaki itu bermain-main. Seperti sedang membelai rambutnya, lalu turun ke leher jenjangnya, dan turun lagi, makin menurun lagi. Ia membiarkan jemari kekar namun penuh perasaan milik kekasihnya itu menari-nari di tubuhnya. Getaran-getaran cinta yang menggerakkan dan membangkitkan sukma kehangatan di pagi buta itu.

Lelaki itu makin rapat, tangan kekarnya kian mencengkeram tubuhnya. Lalu sebuah benda terasa dingin saat menyentuh kulit lehernya. Itulah yang menyadarkannya bahwa ia sedang terancam. Terperanjat bangun dari tidurnya. Bencana tengah mengancamnya. Ia bergidik. Sangat cemas.

"Jangan berteriak! Bisa kubunuh kamu!" ancam lelaki bertangan kekar dan penuh tato. Rambutnya pendek, berkumis tipis, beralis tebal. Berbaju dan celana merek Levi’s berwarna biru laut. Suaranya berat, terkesan serak. “Pastilah lelaki itu preman terminal ini”. Dalam kalut ia coba mempehatikan siapa lelaki yang sedang mengancam
nya itu.

"Kamu ikut saya sekarang. Jangan macam-macam kalau kamu mau selamat!" lelaki itu kembali mengancam sambil menyeretnya ke mobil pedesaan yang terparkir di kegelapan. Hanya sekejap, angkutan antar desa itu berubah gaduh. Namun suara minta tolongnya tak bisa keluar, seutas kain melingkar di mulutnya, hingga tidak ada yang mendengar? Dan,, “buk,” sebuah benda mendarat di pelipisnya. Seketika pandangannya menjadi gelap, hitam, dan...?
==

PEREMPUAN itu merapikan pakaiannya yang kusut dan semrawut. Rambutnya yang lurus dan selalu rapi, kini acak-acakan. Kedua pelupuk matanya memerah, ada sedikit kebiruan di sekitar pelipis: tentulah itu karena benturan benda (bekas tinju?). Ia tak ingat apa-apa lagi, ia mengira kekasihnya yang telah mencumbuinya.

”Ah, tidak!! “Tadi aku tadi hanya bermimpi,” tidak mungkin kekasihnya itu akan berlaku kasar. Lelaki idamannya itu, ia tahu, romantis dan penyayang. Ia juga tak suka minum alkohol, kecuali bau rokok dari mulutnya. Tetapi, lelaki yang mengancamnya maghrib tadi adalah lelaki kekar dan kasar, mulutnya berbau alkohol, dan suaranya keras menggetarkan. Ia hafal betul dengan logat suara lelaki yang mencampakkan dirinya, cuma ia tak mau gegabah menuduh suatu etnis. Bukan soal suku, tapi ini kelakuan individu.

Maka ketika ia melaporkan peristiwa nahasnya di Terminal Kolpajung tadi pada pihak keamanan, ia tak menyebut suku. Hanya memberikan keterangan kronologis dan sedikit ciri-ciri yang dapat ia kenali dalam remang-remang. Meski ia meragukan, dari keterangannya itu petugas dapat meringkus pelaku!

Ia tertunduk. Matanya benar-benar bengkak kini. Pipinya memerah. Rasa perih yang berasal dari selangkangannya seperti tak bisa ia tahan. Pedih, dan sangat sakit!

Perempuan itu ngelangut di kursi belakang ankutan yang tengah melaju ke kampung halamannya. Ia tak lagi bercerita pada siapa pun, setelah kepada petugas keamanan di terminal tadi. Biarlah semua itu jadi cerita amat laknat dalam batinnya.

Ia akan serahkan seluruh uang yang tak ikut digasak. Ia bersyukur. Untunglah majikannya menyarankan agar celana panjangnya dibuat kantung khusus di dalam untuk menyimpan uang, sehingga tak terjamah penjahat. Namun tas berisi pakaian dan alat perhiasan raib di kursi terminal ketika ia diseret ke mobil.

ia tak membuka mulut ketika seorang tetangga membawa koran yang dibelinya di Pasar Kecamatan. Di koran lokal itu ada berita pemerkosaan di Terminal Kolpajung, dan korbannya-disebut bernama Bunga-berasal dari Desa Gunung Naknong.

"Bukan, mungkin salah tulis…," ia mengelak. Meski, tak urung, batinnya kembali remuk!!

___18.45/15-006-12"IKBAL

Saturday, September 22, 2007

Puisi BUih

___Soker

Diammu makin menjadi
Seperti gerimis yang tak juga pergi

Kemana kata
Yang baru hadir
Saat kita menepis tabir

Diammu membuat perih
Hingga kata yang sempat ada
Kusimpan saja dalam basah mata

___20.25/10-12-1427 "Ladang Batu.

Friday, September 21, 2007

Cerita BUta

___Pelacur

Di pojok pasar mobil kota Kairo, tempat Hery biasa nongkrong sekedar menghilangkan kejenuhan dan rasa penat. Sore itu ketika pasar masih ramai dengan pedagang menjajakan mobilnya, tiba-tiba seorang perempuan datang menghampiri Hery. Perempuan itu mengambil tempat di sebelah kirinya, duduk di atas jok pembatas pinggir pasar seperti dirinya. Hery baru saja terkesima oleh sebagian kehidupan nyata para pedagang mobil, yang tanpa sengaja ditemukannya sore itu. Sebuah keberanian dan ketabahan menunggu para pembeli di terik siang yang panas. Sebuah kerja keras yang nyaris tak tercatat.

Dan sekarang dengan kehadiran perempuan itu menambah keterkesimaannya pada suasana pasar sore itu. Malah segera menimbulkan bermacam dugaan di benaknya. Sejak mula ia telah melihat perempuan itu di antara gerombolan pedagang yang sedang menjajakan dagangan. Tapi, pakaian dan penampilan perempuan itu agak berbeda dari para perempuan biasanya. Hingga sesaat Hery sempat berpikir, boleh jadi perempuan itu adalah turis lokal seperti dia. Namun ketika perempuan itu sudah duduk di sampingnya, lalu mencium bau debu yang menyebar dari tubuhnya, selanjutnya Hery bisa memastikan, bahwa perempuan itu adalah seorang penduduk kota Sahara ini.

"Dari mana?" begitulah Hery kemudian berani bertanya, sekadar menghalau kebisuan di antara tiupan angin dingin sore yang mulai gelap. Perempuan itu menjawab sekenanya namun kurang jelas bagi pendengaran Hery. Sudah menjadi kebiasaannya selama tinggal di Negeri Fir’aun ini, kalau berbicara dengan penduduk asli pendengarannya kurang cekatan seperti halnya penyakit tak bisa tidur, makan ala kadarnya, melamun dalam kesendirian, aahh!! Entahlah. Hery tak mempersoalkan lebih jauh. Ia mencoba menenangkan pikirannya dengan menawarkan rokok ketika perempuan itu menoleh ke arahnya.

Dalam samar tamaran cahaya lampu malam mereka saling mengamati, lalu perempuan itu mengambil sebatang rokok, dan Hery pun dengan sigap menyalakan mancis untuknya. Kemudian kembali pada kesibukan masing-masing, diam, tak bergeming. Seolah khusuk dengan rokoknya masing-masing.

Agak menggigil, Hery mencoba menenangkan dirinya dengan memandang ujung pasar. Dalam kesamaran sore berkabut malam itu, pasar benar-benar lenggang kini. Para pedagang yang sesaat tadi masih tampak berupa gerombolan semut, kini benar-benar raib ditelan malam. Dan para petugas keamanan yang sedari tadi sibuk mengatur lancarnya lalulintas, kini menghilang di perkampungan di sebelah kanan sana.

"Mereka hampir tak ada," gumam Hery.

"Apa?" tanya perempuan itu.

"Orang-orang itu hampir tak ada, tak menjadi perhatian orang banyak." kata Hery agak terbata, yang kemudian disesalinya sebagai keterlanjuran. Tiba-tiba saja ia merasa percuma, telah mencetuskan sebagian dari beberapa pikiran jernih yang ditemukannya. Ia pun menjadi gugup ketika menoleh kepada perempuan itu. Ia benar-benar merasa baru saja berbicara pada tempat dan waktu yang salah.

Dan mungkin juga kepada orang yang salah? Dan ia semakin gugup ketika mendengar kata-kata perempuan itu. “Siapa yang tak pernah kesepian, siapa yang tak ingin dihibur dalam malam berkabut dingin!!” Hery seakan baru saja mendengar hembusan angin dingin berdengung nyaring di sisi telinganya. Sekilas ia kembali menoleh dan menangkap senyum sumbang perempuan itu. Berawal dari saling pandang, membagi senyum.

Adalah sebuah tradisi yang sudah kental dan sangat dikenalinya. Ia tahu persis, bahwa ia tak perlu menjaga harga diri bila tidak ingin rugi sedikitpun. Ia kemudian menjamah tangan si perempuan berbau debu itu. Dan perempuan berbau debu itu membalas dengan lebih merapatkan lagi tubuhnya. Lalu, ada beberapa saat mereka selanjutnya seperti tersenyum dan mengisyaratkan sesuatu, isyarat itu hanya mereka berdua memahaminya.

"Tapi kamu harus membayar," kata perempuan itu berbisik sembari menarik tangannya dari pegangan Hery. Ia menyebutkan angka dan kembali duduk. Lalu membenahi kerudung dan pakaiannya. Dalam tamaran cahaya malam, Hery melihat, ada sebuah rasa percaya diri yang sedang mencoba ditegakkan oleh perempuan itu.

"Mahal!!" kata Hery sembari menenangkan napasnya meski ia tahu rasa licik mengorek dari dasar hatinya.

"Biasa di sini," kata perempuan itu.

"Ya, tapi terlalu mahal," Hery mengelak.

"Ah!!" keluh perempuan itu.

Hery melihat bagaimana perempuan itu menatap tak percaya atas penemuannya, dan serentak rasa percaya diri yang sedang coba ditegakkan, kini melemah dan hampir pupus dari wajahnya. Ia duduk dengan canggung.

Dan Hery pun kemudian merasa tak perlu terlalu jauh menikmati kelicikannya. "Di mana tempat kamu?" tanyanya.

"Di mana tempat kamu?" ulangnya seraya bangkit, sesaat perempuan itu nyaris tak memberi reaksi apa-apa. Namun tiba-tiba perempuan itu menyunggingkan senyum, sebuah senyum mesum. Dan kini, ia tidak lagi canggung ketika ikut bangkit. Bahkan ia melirikkan sepasang mata genitnya, dan menuntun tangan Hery agar ikut bersamanya. Kemudian, mereka berjalan di atas trotoar berwarna hitam kecoklatan manjauhi tepi pasar yang kini mulai gelap.

Mereka menuju perkampungan belakang pasar mobil. Disebuah rumah apartemen belum selesai direnofasi berlangit-langit rendah, perempuan itu menyalakan lilin. Dan menjadi jelaslah, bahwa rumah itu tak begitu bersih. Berlantai tanah. Sempit. Panas. Dengan dinding yang mulai lapuk di sana-sini. Di sebuah sudut kamar tergolek sisa-sisa kayu penyanggah dinding yang tak terpakai lagi, dengan beberapa batu bata besar yang terbuat pasir dan semen.

Merapat ke dinding, sebuah dipan dengan kasur telanjang, sedang dihampiri oleh perempuan itu. Sebuah seprei berwarna kusam digelarkan dan dibenahi dengan tergesa-gesa.

"Kalau dengan lelaki yang saya senangi seperti suami saya, saya akan melayani sungguh-sungguh," kata perempuan itu nyaris bergumam, namun terburu-buru, dan mulai tersenyum, tertawa kecil, serta dibumbui lirikan genit.

Sementara memandangi kesibukan perempuan itu, Hery yang sudah terbiasa dengan kesendiriannya, setiap kali merasa terpukul oleh bayangan tubuhnya yang membesar di dinding akibat sorotan cahaya lilin.

Dan kemudian ia merasa tak harus menjadi seorang lelaki suci, ketika akhirnya mengambil sebuah keputusan sederhana, keluar begitu saja, lari seribu langkah tanpa harus pamit kepada perempuan itu. Namun HATI dan alam pikirnya terus bergeming.

Siapa yang tak ingin dihibur malam berkabut dingin seperti ini, TUHAN!! ”

___ 22.15/27-207-08 "Kairo